Kamis, 07 Desember 2023

, ,

JIKA CINTA TIDAK PERNAH ADA | CHAPTER 2

CHAPTER 2

* * *

Katjia Leonna Doo Louva adalah seorang putri dari aktor dan aktris ternama Leion dan Geathan Lou Beba. Kedua orang tuanya mulai terkenal karena debut mereka sebagai pemeran utama dalam sebuah teater drama Cinderella yang berhasil viral dan ditonton ratusan juta orang. Tidak ada yang menyangka chemistry keduanya dalam berakting mampu membuat jatuh cinta banyak orang. Lova juga menyetujui seperti apa orang tuanya ketika ada di rumah, mereka memang sangat romantis seperti ucapan orang-orang. Mereka masih sering mengungkapkan mencintai satu sama lain meskipun drama itu sudah dua puluh tahun berlalu.

Tetapi sayangnya kecintaan dalam dunia akting orang tuanya tidak menurun pada Lova. Ia sendiri malah menyukai dunia olahraga. Maka tidak heran sekarang Lova menjadi salah satu mahasiswa Renang di Grand Athlete University atau orang-orang dengan mudah menyebutnya GAU, kampus paling terkenal di Indonesia yang menghasilkan banyak sekali atlit-atlit berbakat tanah air. Lova ingin menjadi salah satu dari atlit berbakat itu, terutama dalam cabang olahraga renang.

Berenang sudah menjadi bagian dari hidup Lova sejak kecil. Sebab di halaman belakang rumahnya memiliki kolam renang yang sangat besar. Sayangnya kolam renang sebesar itu hanya Lova saja yang senang menggunakannya hingga kegiatan itu menjadi hobi Lova sehari-hari, sampai akhirnya kecintaan terhadap renang menjadi tujuannya memilih kuliah di GAU.

Tetapi meskipun masih menjadi mahasiswa jurusan Renang, semua orang di GAU mewajibkan menyebut para mahasiswanya sebagai atlit. Lova memang akan menjadi atlit renang yang sangat sukses dan membanggakan Indonesia nantinya. Lova yakin itu. Tetapi di antara kegiatan perkuliahannya, Lova malah jatuh cinta dengan seorang atlit basket GAU yang sudah banyak sekali membawa banyak piala meskipun semua anggota timnya masih berkuliah. Banyak  orang mengenalnya sebagai bintang basketnya GAU, siapa lagi kalau bukan laki-laki bernama Roar Laga Yngvar.

Lova adalah penggemar nomor satu Roar. Entah orang lain mengetahuinya atau tidak, tapi Lova yakin kalau Roar sendiri sudah tahu siapa dirinya. Ia penggemar Roar yang selalu datang pada setiap pertandingan yang diikuti oleh laki-laki itu. Tidak pernah Lova lewatkan sedikitpun.

Tetapi perhatian Lova terhenti ketika melihat Roar yang sudah berdiri di dekat gerbang utama GAU. Lova tersenyum lebar menyadari keberadaan Roar di sana. Ia merapikan rambutnya yang masih basah karena berenang tadi tapi secepat mungkin Lova harus mendekat ke arah laki-laki itu, setiap hal yang ada pada Roar tidak luput dari perhatian Lova, termasuk saat ia melihat tangan Roar mengenakan perban. Lova yakin tadi tangan laki-laki itu masih baik-baik saja, tapi kenapa sekarang tangan Roar terluka?

Lova mendekati laki-laki itu dengan perasaan panik. “Tangan kamu terluka?” tanyanya tanpa basa-basi. “Kamu baik-baik aja kan? Nanti masih bisa latihan basket? Masih bisa ikut pertandingan juga kan?”

Terlalu banyak pertanyaan khawatir yang Lova ajukan. Sementara wajah Roar yang biasanya datar kini terlihat menahan amarah melihat perhatian Lova kepadanya. Roar bahkan mengepal kuat tangannya yang sedang diperban. Ia terlalu tidak suka dengan keberadaan Lova yang selalu berada di dekatnya.

“Roar?” panggil Lova dengan begitu beraninya menyebut nama laki-laki itu. Ia bahkan lupa untuk menanyakan apakah Roar suka dengan hadiahnya atau tidak. Lova bingung karena Roar tampak menyimpan masalah yang tidak bisa Lova tebak apa itu. Selain ia harus menerima kenyataan kalau Roar mungkin tidak akan pernah mengatakannya karena laki-laki itu sudah sangat membencinya—benci pada penggemar nomor satunya.

Roar melangkah mendekat untuk menutup jarak keduanya. Tidak memedulikan banyak orang melewati gerbang utama akan memperhatikan mereka. Tetapi Roar tetap menatap tepat ke dalam mata Lova. “Berhenti!” tegasnya. “Berhenti buat kasih hadiah apa pun ke gue! Gue gak suka lihat lo ada di ruang ganti. Gue gak suka lihat lo dengan gampang percaya sama teman-teman gue. Gue gak suka lo ada di sekitar gue. Gue udah berkali-kali bilang tapi lo gak pernah ngerti? Gue gak suka! Gue gak butuh!”

Lova terdiam mendengar sepanjang itu ucapan Roar kepadanya. Ini memang bukan pertama kali Roar menolaknya, tapi baru kali ini ia benar-benar malu karena suara Roar bisa saja didengar oleh banyak mahasiswa lain yang lewat. Apa Roar tidak malu jika mereka semua mendengar? Kalau laki-laki itu memang tidak malu, itu artinya Lova juga harus merasakan yang sama. Ia dengan berani membalas setiap ucapan Roar. “Apa aku salah jadi penggemar kamu? Apa aku sangat-sangat salah di mata kamu sampai kamu harus bilang di tempat ramai kayak gini? Roar, penggemar kamu itu bukan cuma aku. Tapi kamu … kenapa kamu kayaknya benci banget sama aku? Di antara penggemar kamu yang lain, cuma aku yang kamu benci ya kan?”

“Ya.” Jawaban Roar sudah sangat menjawab pertanyaan Lova. Tetapi dia tetap melanjutkan ucapannya karena bagi Roar, seseorang seperti Lova tidak akan pernah mengerti keinginannya. “Cuma lo yang gue benci. Karena penggemar gue yang lain gak ada yang nekat kayak lo. Mereka biasa aja buat jadi pendukung gue. Bukan kayak lo yang terlalu terobsesi sama gue. Gue udah capek sama latihan pertandingan gue, tapi lihat wajah lo makin buat gue muak!”

Sial! Lova menyalahkan dirinya sendiri di dalam hati karena dengan mudah matanya berkaca-kaca mendengar ucapan Roar. Ia jadi tidak berani untuk menoleh dan memperhatikan keadaan di sekitarnya. Apakah orang-orang mendengar ucapan laki-laki itu? Apakah mereka tahu kalau Roar sangat membenci Lova?

“Tolong bilang sama aku, apa salah aku, Roar? Apa aku buat salah sampai kamu benci penggemar kamu sendiri? Aku gak mau buat kamu jadi benci aku. Aku gak mau kamu jadi gak suka sama keberadaanku, Roar.”

Roar tidak mengatakan apa-apa selain menatap Lova lebih lama lagi. Perempuan yang biasanya ia lihat tersenyum sangat lebar di tribun penonton tapi kini ada di depan matanya sendiri. Mata yang berbinar saat itu telah tergantikan dengan mata yang siap menumpahkan tangisan. Kata-kata Roar tadi berhasil melukai perasaan Lova, tapi entah apakah Lova akan menuruti setiap permintaan Roar atau tidak. Roar sudah cukup tahu kalau Lova tidak akan menghentikan kegilaan perempuan itu terhadap dirinya. Seperti saat Roar menyuruhnya pertama kali untuk berhenti tapi Lova tidak juga berhenti.

Sekali lagi Roar menatap Lova hingga Lova menantikan laki-laki itu. Lova sampai tidak menyadari bahwa ini adalah waktu terlama Roar menatapnya. Ini juga waktu terlama Lova untuk berada di dekat laki-laki itu. Idolanya yang selalu menjauh setiap kali Lova dekati. Idolanya yang sangat membenci penggemarnya sendiri.

“Roar!” ucap Lova lagi. “Bilang sama aku, apa salahku? Aku akan berhenti kalau kamu gak suka! Kalau perlu aku akan berhenti jadi peng—”

Tetapi Roar tiba-tiba saja pergi meninggalkan cewek itu, sebelum Lova melanjutkan ucapannya. Lova hanya bisa terdiam memperhatikan tubuh tinggi tegap laki-laki itu yang semakin menjauh.

Sangat-sangat jauh.

Seakan semakin sulit untuk Lova gapai.

* * *

Lova masih tidak mengerti dengan ini semua.

Dengan Roar yang membencinya. Dengan Roar yang tidak ingin dirinya berada di sekitar laki-laki itu. Dengan Roar yang selalu pergi setiap kali Lova ingin menghentikan dirinya menjadi penggemar laki-laki itu.

Apakah Roar benar-benar memiliki rasa benci kepadanya? Apakah hanya pada Lova saja? Bagaimana dengan penggemar laki-laki itu yang lain? Bukan hanya Lova yang selalu memberi hadiah. Lova tahu itu. Ia sendiri mengikuti beberapa mahasiswa lain di GAU yang memiliki minat sama pada Roar. Mereka bisa memberikan hadiah ke Roar tanpa perlu mendapatkan amarah dari laki-laki itu.

Lova masih diam berdiri di tempat sebelumnya. Meskipun Roar sudah tidak terlihat beberapa menit yang lalu, tetapi penolakan Roar yang kedua kalinya membuat Lova sedang berusaha menenangkan hatinya. Roar memintanya untuk berhenti mendekati laki-laki itu. Roar memintanya untuk berhenti untuk selalu memberikan hadiah kepadanya. Apakah Lova benar-benar harus menuruti permintaan laki-laki itu? Lova sebenarnya jelas tidak ingin. Ia tetap mau berada di dekat Roar persis seperti yang ia katakan secara langsung pada Roar, tapi jika memang keberadaan Lova mengganggu mungkin … mungkin ia akan benar-benar berhenti menjadi penggemar laki-laki itu.

“Belum pulang?”

Suara itu membuat Lova menoleh dengan cepat ke sumber suara. Ia langsung mendapat kehadiran Moron yang sedang tersenyum ke arahnya. Moron, teman satu tim Roar yang lain. Kalau Moron jelas Lova tidak merasa heran kalau dia mengenalnya. Tidak seperti Lova terkejut kalau Loki juga mengetahui dirinya. Moron adalah informan setia yang Lova punya jika ia ingin tahu jadwal pertandingan yang tim basket GAU ikuti.

Lova menggeleng lemah dan tersenyum kecil. “Belum. Baru aja mau pulang.”

“Kenapa? Muka lo kayaknya lagi sedih banget?” tanya Moron lagi. “Ah, pasti karena Roar kan?”

Lova tidak menjawab. Bahkan teman-teman Roar sendiri tahu apa pun hal yang Lova rasakan pasti berkaitan dengan Roar. Tadi Loki tahu jika ia ingin memberikan hadiah ke Roar. Lalu sekarang Moron pun tahu kalau wajahnya sedih pasti berkaitan dengan Roar. Dan Lova tidak paham apa yang dimaksud Roar untuk menjauhi teman-temannya? Mereka bahkan sangat baik ke Lova. Lalu untuk apa dan alasan apa yang Lova punya agar menjauh dari mereka?

“Sedih ya gak bisa lihat Roar tanding nanti?”

“Hah?” Lova terkejut mendengar pertanyaan itu. “Gak bisa kenapa?”

“Lho? Lo belum tau?” Moron tampak bingung. “Roar gak akan ikut pertandingan. Next season mungkin baru dibolehin ikut. Gue sedih banget sih, lo pasti gak datang ke pertandingan karena gak ada Roar.”

Lova sama sekali tidak tahu kalau Roar tidak ikut pertandingan. Apa karena tangan laki-laki itu terluka? Roar juga tidak mengatakan apa pun. Bodoh! Roar jelas tidak akan memberi tahu apa-apa ke Lova kalau saja Lova tidak mencari tahu sendiri tentangnya.

“Ada apa ya sampai Roar gak bisa ikut pertandingan?” tanya Lova penasaran. “Aku juga sempat lihat tangannya tadi diperban. Dia luka karena apa?”

“Berantem,” balas Moron sangat santai.

“Berantem?”

“Iya,” lanjutnya mengangguk. “Dia pukuli Loki sampai Loki gak sadarkan diri dan ibawa ke rumah sakit. Coach hukum Roar buat gak ikut pertandingan sebagai hukumannya.”

“Tadi kamu bilang … Roar pukul Loki?” Lova sukses terkejut dan tidak percaya. “Gimana bisa Roar pukul temannya sendiri?”

Moron mengangkat bahu. “Gue gak tau jelasnya. Keliatan banget Roar marah dan mukul pakai emosi. Oh iya, dia juga kayaknya banting hape Loki yang gue gak tau maksudnya apa.”

Lova tertegun dan memikirkan banyak hal. Tentang Roar yang memintanya berhenti. Tentang Roar yang memintanya untuk menjauh dari teman laki-laki itu. Apa ini berkaitan dengan Loki? Tapi apa yang Loki lakukan sampai Roar harus memukulnya? Apa semua ini karena dirinya?

Karena Lova yang meminta Loki memberikan hadiah ke Roar hingga dia menjadi korban kekerasan. Mungkin. Mungkin karena perasaan bencinya Roar ke Lova membuat cowok itu melampiaskan amarahnya ke Loki.

Tidak seharusnya Roar melakukan itu.

“Idola lo serem juga ya. Bisa-bisa dia dijauhi sama anggota tim kalau gitu.”

Lova tidak ingin Roar jadi dibenci sama teman-temannya sendiri. Tapi apa yang harus Lova lakukan sekarang?

Apa ia rela berhenti menjadi penggemar Roar?

* * *

Continue reading JIKA CINTA TIDAK PERNAH ADA | CHAPTER 2